Pages

Labels

Hakk�mda

asep saeful millah
Lihat profil lengkapku

Sabtu, 29 Juni 2013

HAKEKAT PENDIDIKAN ISLAM DAN BELAJAR MENGAJAR MENURUT ISLAM



MAKALAH

Dosen Pengampu :
Drs. Damhar Abu Dapes, M.Si



Disusun Oleh :
Asep Saeful Millah


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BHAKTI NEGARA
SLAWI TEGAL
2012



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan sesuatu yang tidak asing bagi kita, terlebih lagi kkta sedang berinteraksi aktif di dalamnya. Kita sepakat bahwa pendidikan diperlukan oleh semua orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa dalam proses menuju kedewasaannya, setiap manusia melalui tahap pendidikan ini.
Pada masa ini seringkali kita sebagai ummat Islam terkesima dengan kemajuan peradaban dunia Barat. Tentunya jika sebuah peradaban suatu bangsa sangat maju, maka dapat dipastikan bahwa pendidikan yang mereka kembangkan sangatlah maju pula. Padahal sebelum itu, pada abad ke-7 masehi ummat Islam adalah rujukan pengetahuan bagi bangsa-bangsa di dunia. Namun masa keemasan tersebut pun harus diakhiri dekan runtuhnya daulah Abbasiyah.
Agama Islam merupakan agama yang sempurna, agama yang dibawa Nabi Muammad ini diajarkan melalui mukjizat yang berupa teks al-Qur’an, al-Qur’an merupakan teks rujukan dan pedoman bagi ummatnya dalam seluruh aspek kehidupan termasuk pendidikan. Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang tidak menyebutkan makna secara “gamblang” dan jelas, penjelasan dari ayat tersebut diperoleh melalui penjelasan Hadits Nabi yang kemudian disebut sebagai teks utama setelah al-Qur’an.
Sebenarnya agama Islam sangat mengutamakan proses pendidikan, hal tersebut dapat dilihat dari lima ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam surat al-‘Alaq. Banyak juga hadits yang menjelaskan tetang pentingnya pendidikan bagi manusia. Namun sebagai dua teks utama, ummat Islam seringkali lupa akan ajaran-ajaran yang dijelasknnya.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah fitrah manusia dalam perspektif pendidikan Islam?
2.      Bagaimanakan hakikat pendidikan menurut al-Hadist?





BAB II
PEMBAHASAN
A.    FITRAH MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Agama Islam menempatkan pendidikan dalam posisi yang sangat vital, lima ayat pertama yang diturunkan dalam surat al-‘Alaq bukanlah suatu kebetulan. Ayat yang diturunkan pertama kali kepada Nabi Muhammad tersebut dimulai dengan membaca ‘iqra’ yang secara tidak langsung mengandung makna dan implikasi pendidikan.
Dalam sebuah hadist disebutkan:
عَنْ أبَيِ هُرَيرةَ رَضِيَ اللّهُ عَنهْ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ  صلى الله عليه وسلم: كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Artinya:
Dari Abi Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap anak lahir dalam keadaan fiitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari) [1]
Isyarat tentang pendidikan bagi manusia ini terjelaskan pada berbagai muatan dan konsep ajarannya yang tersimpul dalam al-Qur`an dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, salah satunya adalah konsep tentang fitrah yang terkandung pada hadis di atas. Hadis tentang fitrah tersebut demikian populer, tidak hanya dalam pendidikan Islam tapi juga di tengah kalangan masyarakat Islam dengan pemaknaan yang variatif.
Allah SWT menciptakan menusia telah dibekali dengan potensi pada setiap individu, dengan potensi itulah seseorang dapat menjalankan kehidupan dengan penuh ketaatan dan penghambaan kepada-Nya. Dalam hadits diatas, Rasulullah memberikan informasi tentang potensi-potensi yang ditetapkan kepada manusia, berupa fitrah.
Fitrah sebagai potensi dasar manusia yang dibawa sejak lahir merupakan pemahaman konseptual dari surat ar-Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٣٠)
Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [2]
Dalam  ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa fitrah yang dimaksud adalah “al-dinu al-Qayyim” agama yang lurus. Akan tetapi, potensi tersebut juga dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar baik berupa pendidikan ataupun lingkungan yang dalam hadits diatas digambarkan dengan faktor orang tua.
Sebagai potensi dasar, maka fitrah itu cenderung kepada potensi-potensi psikologis yang perlu untuk dikembangkan ke arah yang benar. Diantara potensi psokologis tersebut adalah:
1.      Beriman kepada Allah SWT
2.      Kecenderungan untuk menerima kebenaran, kebaikan, termasuk untuk menerima pendidikan dan pengajaran
3.      Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berwujud daya fikir
4.      Dorongan biologis yang berupa syahwat dan tabiat
5.      Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan
Ibn taimiyah dalam menginterprestasikan fitrah yang dibawa oleh manusia adakalanya:
Pertama, fitrah al Ghazirah, yaitu fitrah inheren dalam diri manusia yang memberikan daya akal (Quwwah al-aql), yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.
Kedua, fitrah al-Munazzal, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia. Fitrah ini berupa petunjuk al-Qur’an dan as-sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Gazirah. [3]
Dapat disimpulkan bahwa fitrah yang berupa pembawaan pada diri manusi merupakan potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk menerima rangsangan (pengaruh) dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran.
Namun, fitrah manusia bukanlah satu-satunya potensi yang dapat mencetak manusia sesuai dengan fungsinya. Ada juga potensi lain yang menjadi kebalikann dari fitrah ini, yaitu nafs yang mempunyai kecenderungan pada keburukan dan kejahatan.
Untuk itu fitrah harus tetap dikembangkan secara wajar dengan fitrah al-Munazzal yang dijiwai oleh wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah),  sehingga dapat mengarahkan perkembangan seorang anak kepada jalur yang benar secara kaamilah.
Oleh karena betapa pentingnya pendidikan untuk mengarahkan perkembangan manusia ke arah yang benar (ad-din al-Qayyim), hendaklah suatu pendidikan mulai ditanamkan sejak dini. Dalam sebuah hadits disebutkan:
عن ابن عباس أنهم قالوا: يَا رَسُولَ الله قَدْ عَلمْنَا حَقَّ الوَالِدِ عَلَي الْوَلَدِ، فَمَا حَقَ الوَلَدِ عَلَي الوَالِد؟ قال: أَنْ يُحْسِنَ اْسمَه، ويحسن أدَبَه) رواه البيهقي(

Artinya:
“Dari Ibn ‘Abbas, bahwa mereka (para sahabat)bertanya: Sungguh kami telah mengethaui hak orang tua atas anak, lalu apa hak anak atas orang tua ? Rasulullah SAW bersabda: Beri ia nama yang baik dan ajarkan perbaiki adabnya.” (HR. Baihaqiy) [4]
Melatih dan membiasakan suatu perbuatan baik, merupakan metode yang amat tepat dilakukan pada masa usia anak-anak. Karena dari metode pembiasaan inilah akan terbentuknya jiwa dan kepribadian yang baik. Dalam hadits lain disebutkan:
عن انس بن مَالِك عَنْ رَسُول الله صلي الله عليه وسلم قال أَكْرِمُوا أَوْلَادَكُم وَأحسِنوُا أدَبَهُمْ )رواه إبن ماجه(
Artinya:
“Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW bersabda: Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka.” (HR. Ibn Majah) [5]
Potensi-potensi yang dibawa oleh manusia sejak lahir sangatlah rentan akan pengaruh-pengaruh dari luar, oleh sebab sejak usia dini fitrah tersebut harus diarahkan dan dibimbing ke arah yang benar dengan pendidikan kepribadian (ahlak) dan pendidikan agama. Dalam hal ini orang tua adalah faktor yang sangat berpengaruh, karena orang tua adalah orang pertama kali yang bersentuhan dengan seorang anak.
Sejak usia dini, seorang anak mulai mengenal dunia di luar dirinya secara objektif disertai pengahayatan secara subjektif. Mulai adanya pengenalan pada Aku sendiri dengan bantuan bahasa dan kata-kata. Nabi SAW mengingatkan agar orag tua mengajarkan dan mendidik anak dengan beberapa hal diantaranya adalah adab, shalat, kecintaan dengan Nabi dan al-Qur’an, serta mengembangkan minat dan bakat.
B.     HAKEKAT PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of culture serta transfer of religius yang semoga diarahkan pada upaya untuk memanusiakan manusia. Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai Ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Al-Quran dan as-Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah (insan kamil).
Secara semantik, pendidikan menunjukkan pada suatu kegiatan atau proses yang berhubungan dengan pembinaan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Pengertian tersebut belum menunjukkan adanya program, sistem, dan metoda yang lazimnya digunakan dalam melakukan pendidikan atau pengajaran.
Dalam term pendidikan Islam, sering  dijumpai kata dalam bahasa arab tarbiyah  untuk menggantikan kata pendidikan dalam bahasa Indonesia.  Selain kata tarbiyah terdapat pula kata ta’lim (pengajaran) dan ta’dib yang ada ada hubungannya dengan kata adab yang berarti sopan santun.
Ketiga terma tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap terma memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun secara kontekstual. Oleh karena itu dibawah ini akan diuraikan secara singkat masing-masing term pendidikan tersebut.
1.      at-Tarbiyah
Istilah at-Tarbiyah berasal dari kata Arab, yang berarti:
a.       bertambah dan berkembang (ربا - يربو – تربية)
b.      tumbuh dan berkembang (ربي - يربي - تربية )
c.       memperbaiki, menguasai, memelihara, merawat, memperindah, mengatur, dan menjaga kelestariannya (ربّ - يُربّ - تربية)
Dari pengertian tersebut, dalam konteks yang luas pengertian pendidikan Islam terkandung dalam term al-Tarbiyah yang meliputi empat unsur, yaitu: pertama, unsur memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa. Kedua, mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan. Ketiga, mengarahken seluruh fitrah menuju kesempurnaan. Dan keempat, melaksanakan pendidikan secara lengkap.
Dalam al-Qur’an secara implisit memang tidak ditemukan penunjukan kata at-tarbiyah, namun kata tersebut dapat ditelusuri pada istilah lain yang seakar dengan kata at-tarbiyah, yaitu pada firman Allah:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (٢٤)
Artinya:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Menurut fahr al-Razy, kata “Rabbayani” merupakan pendidikan dalam bentuk luas, term tersebut tidak hanya menunjukkan pada makna pendidikan yang bersifat ucapan (domain kognitif0, tapi juga meliputi pendidikan pada aspek tingkah laku (domain afektif). [6]
Jadi istilah at-Tarbiyah memberikan pengertian mencakup semua aspek pendidikan, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tidak hanya mencakup aspek jasmaniah tetapi juga mencakup aspek rohaniah secara harmonis.
2.      al-Ta’lim
Kata yang kedua ini bersumber dari kata ‘allama yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian, atau penyampaian, pengertian, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan:
وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (٣١)
Artinya:
“dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Bila dilihat dari batasan pengertian yang ditawarkan dari kata ta’lim (allama) pada ayat di atas, terlihat pengertian pendidikan yang terlalu sempit. Pengertiannya hanya sebatas proses pentranferan seperangkat ilmu pengetahuan atau nilai antara manusia. Ia hanya dituntut untuk menguasai ilmu atau nilai yang ditranfer secara kognitif dan psikomotorik, akan tetapi tidak dituntut pada domain afektif.
3.      al-Ta’dib
Secara bahasa, kata al-ta’dib merupakan masdar dari kata “addaba” yang berarti:
a.       Ta’dib, berasal dari kata dasar “aduba – ya’dubu yang bererti melatih, mendisiplinkan diri untuk berperilaku yang baik dan sopan santun.
b.      Berasal dari kata “adaba – ya’dibu” yang berarti mengadakan pesta atau perjamuan yang berbuat dan berperilaku sopan.
c.       Kata “addaba” sebagai bentuk kata kerja “ta’dib” mengandung pengertian mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin da member tindakan. [7]
Dalam hadist Nabi disebutkan:
أَدَّبَنِي رَبِّي فَأَحْسَنَ تَأدِيْبِي. (رواه العكسري عن علي(
Artinya:
“Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku” ( HR. al-Aksary dari Ali Ra)
Dari pengertian dan hadist tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata “ta’dib” mengandung pengertian usaha untuk menciptakan situasi dan kondisi sedemikian rupa, sehingga anak didik terdorong dan tergerak jiwa dan jiwanya untuk berperilaku dan bersifat sopan santun yang baik sesuai dengan yang diharapkan. [8] Orientasi kata al-ta’dib lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia. Dalam hadits disebutkan:
عن عا ئشة سُأِلَتْ عَنْ أَخْلاَقِ رَسُولِ الله صلعم قَالَتْ كَانَ خلُوقُه القُرْأن
Artinya:
“Aisyah Ra ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, maka dia menjawab akhlak Rasulullah SAW adalah al-Qur’an” [9]
Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolute dan utuh, didalamnya mencakup perbendaharaan yang luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan ummat manusia dan merupakan sumber pendidikan yang terlengkap. Ia merupakan pedoman normatif-teoritis bagi pelaksanaan pendidikan Islam.
Oleh sebab itu Rasulullah SAW memberikan contoh dan suri tauladan berdasarkan al-Qur’an diantaranya melalui: pertama, ucapan (hadits quliyah) , kedua, perbuatan (hadits fi’liyat), dan ketiga ketetapan (hadits taqririyah).
Dalam dataran pendidikan Islam, sunnah Nabi mempunyai dua fungsi yaitu:
1.      Menjelaskan system pendidikan Islam yang tepat di dalamnya.
2.      Menyimpulkan metode pendidikan dan kehidupan Rasulullah SAW bersama sahabat, perlakuanya kepada anak-anak, dan pendidikan keimanan yang pernah dilakukan.
Kesemuanya tersebut dapat dilihat dari bagaimana cara Nabi melakukan proses belajar mengaja, metode yang digunakan sehingga dengan cepat para sahabat mampu menyerap apa yang diajarkan, dan lain sebaginya yang kesemuanya terpancar dari satu figur uswah hasanah yang dibimbing langsung oleh Allah.




BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.      fitrah yang berupa pembawaan pada diri manusia merupakan potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk menerima rangsangan (pengaruh) dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran. Agama Islam menganggap bahwa manusia dilahirkan dengan membawa potensi-potensi yang harus dikembangkan ke arah yang benar.
2.      Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai Ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Al-Quran dan as-Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah (insan kamil). Pendidikan sering diterjemahkan dalam tiga istilah yaitu kata tarbiyah  untuk menggantikan kata pendidikan dalam bahasa Indonesia.  Selain kata tarbiyah terdapat pula kata ta’lim (pengajaran) dan ta’dib yang ada hubungannya dengan kata adab yang berarti sopan santun.


















DAFTAR PUSTAKA

Abū ‘Abd Allah Ibn Muhammad ibn Yazīd Ibn Mājah, 2004, Sunan IbnMājah, Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr
Abū ‘Abd Allah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhāriy, 2006,  Al-Jāmi’ Shahīh al-Bukhāriy, Juz I, Beirut: Dār al-Fikri,
Abu Hamid al-Ghazaly, t.t, Ihya’ ulumudin, juz 3, Maktabah as-Syamilah
Arifuddin Arif, 2008, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kultura
Baihaqiy, t.t, Syu’bat al-Iman, Juz XVIII, dalam Maktabah as-Syamilah
Depag RI, 2007,  Al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Hikmah, Bandung: CV Penerbit Diponegoro


________________________________________

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About